Bolehkah aku bercerita, Gia?

Aku masih saja bermimpi tentang kamu, sekeras apapun aku melupakannya. Kurasa ada saatnya kita harus berdamai dengan kenangan, dengan luka-luka yang kita pelihara sendiri. Tapi sekarang bukan kamu yang aku risaukan, tapi aku, hatiku. Kurasa ada salah satu bagian yang mati disana dan sisi yang mati itu tak lagi mengerti apa itu cinta. Aku mulai berubah menjadi pojok kelam yang kau hindari di gang-gang jalanan. Aku mulai menjadi besi dingin yang tak lagi menyenangkan.


Kau tahu Gia? Mungkin aku hanya butuh kesendirian yang dulu kau ajarkan kepada ku. Aku butuh malam-malam sepi saat dulu kau pergi. Kadang kesendirian mampu menyembuhkan apa yang cahaya dan keramaian tak mampu untuk kembalikan. Yah, seperti tanah merahmu yang sudah begitu lama tak aku kunjungi. Maaf ya? Tapi aku harus melupakanmu. Kasihan wanita lain yang ku bandingkan denganmu, tak ada yang setara.

Kau tahu, aku mungkin harus pergi dari kota ini. Aku benci segala tentang kota ini. Disini ada kamu, ada wanita itu, si jalang yang kita benci, cuacanya yang tak pernah bisa kita mengerti, tempat ini terlalu abu-abu untukku. Aku ingin baris-baris cahaya, desir angin, alunan melodi yang dulu selalu aku nikmati. Aku rindu ketika malam tak lagi mengantarkanku tidur. Lalu aku mulai menelusuri dingin malam. Ahh... Aku ingat dengan dia, kekasih yang selalu menemani langkah-langkah tanpa suaraku. Aku rindu dengan cinta yang kutinggalkan disana. Aku rindu nyanyian berjuta malaikat saat senja di pantai Pangandaran. Aku rindu saat wanita itu tidur di bahuku saat bus membawa kita pulang dari mimpi. Ah... Seperti yang aku bilang, kadang kita harus berdamai dengan kenangan... Dan selamat malam sayang...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fallen Words

Great Music

Letters to God