Kita...

Dunia ini terasa kecil dipelukmu. Seolah detak detik tak berarti, seperti mimpi-mimpi yang terlupa dan hilang dipagi hari. Seperti segala luka, semua torehan sembilu lenyap tanpa butuh bertahun diam. Ya, dalam dekap mu aku seolah merdeka. Beku hati ini tercairkan dan menggeliat kembali.

Memang, seperti kata mereka, cinta tak punya mata. Ia tak lihat siapa kita, berapa tahun kita terlahirkan di dunia. Ia tak melihat siapa kita, ia tak tahu kita jelek atau baik rupa, yang ia tahu hanya selama masih ada hati. Ia ada. Haha... Tak terbayangkan bila hati tak lagi ada, mungkin orang mulai mencintai batu!

Desau angin masih saja tatap jalanku, titik titik putus yang coba ku rajut satu satu. Jalan setapak penuh duri. Masih bertahun mungkin, ujung perjalanan ini kucapai. Ah, sudahlah... Betapapun lamanya akan kutebas tegar pepohonan itu. Asalkan kau ada disisiku. Terdengar gombal memang, seperti puisi-puisi tak berima yang di ciptakan penyair jalanan. Dangkal. Tapi penuh dengan semangat masa muda. Penuh dengan cinta.

Detik detik masih saja berjalan. Desir waktu. Seolah tak kalah dengan mimpi, ia dengan cepat berlalu. Tak terasa, seperti pagi ini, kutemukan aku masih bersama dirimu. Sebulan  empat hari yang lalu kau masih bukan siapa siapa. Hanya teman seperjalanan. Hanya coretan dalam helaian takdir. Kerikil kecil yang bentuk alam semesta. Tapi kini kau adalah garis merah yang hubungkan dua masa. Romantisme masa lalu, entahlah, aku juga tak tahu apa itu. 

Aku masih ingat, aku pernah berniat pindah dari bangku itu. Entah apa yang terjadi kemudian. Atau waktu sedikit bermain dengan kita dan kau sedikit terlambat. Takdir memang tak pasti, terkadang terlalu misteri. Seperti bermain judi. Sudahlah, mungkin memang benar. Waktu untuk kita jalani, bukan untuk dipikirkan. Begitu juga dengan kita. Jalani saja, sampai waktunya tiba. Entah itu apa. Tapi yah, hidup harus punya tujuan. Tapi untuk saat ini tujuan itu tak penting. Yang kutahu kau ada dan nyata, itupun sudah cukup.

Yah, tak terasa memang. Seperti baru kemarin kita bercakap begitu lama, bersebelahan berbagi kisah. Terasa  lucu memang, bertahun aku mencari. Tapi hanya lima jam yang kita butuh kan untuk saling mencintai. Dahsyat memang, bahkan otak ini tak mampu jelaskan. Ku rasa memang beberapa kisah tak ditempatkan untuk kita mengerti, jalani saja. Walau terkadang otak ini teriak tak setuju, tak masuk di nalar. Katanya...

Hari ini, entah apa yang ku rasa. Tangan ini masih saja ingin menari, menorehkan aksara. Meski tak sepenuhnya begitu, aku hanya menekan huruf huruf kaku di papan tanpa nama. Yang terjadi adalah otak ini mulai bercerita dan hati mulai bernyanyi. Ah melodi itu, seperti ledakan yang tak pernah padam. Mengisi relung kosong. Hari ini, setelah sebulan empat hari. Setelah semua mimpi. Ingin kuucap cinta. Tapi entahlah, kata itu terasa biasa. Aku butuh sesuatu yang lebih untuk ungkapkan. Entah apa...

Setelah sekian lama, kupikir cinta juga tak apa. Memang tak ada lagi, kupikir para ahli perlu ciptakan satu kata. Satu kata terakhir yang akan gambarkan kebesaran cinta. Ajaib memang, seperti sulap sulap. Tapi ini bukan trik atau tipuan. Aku tahu itu, ini terlalu nyata, terlalu indah. Hufff... Bisa habis hari ini untuk menuliskan kisah kita.

Aku hanya ingin katakan, selamat untuk kita. Untuk rasa yang kita punya. Untuk cinta yang kita rasakan dan ketahuilah. Duduk di bangku itu, berbagi kisah bersamamu, adalah mimpi yang telah lama Aku mimpikan dan pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan.

Dan mencintaimu adalah sebuah keindahan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fallen Words

Letters to God

Kau Aku Kita